November 21, 2024

Menimbang Dampak Kenaikan PPN 12 %: Penerimaan Negara versus Daya Beli Masyarakat

4 min read
Ilustrasii Tax

Ilustrasii Tax

Menimbang Dampak Kenaikan PPN: Penerimaan Negara versus Daya Beli Masyarakat
Pemerintah Indonesia telah menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Langkah tersebut diambil dengan tujuan meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Meskipun demikian, kebijakan ini menimbulkan berbagai tanggapan dari masyarakat, pemerhati ekonomi, dan pelaku usaha karena potensi dampaknya terhadap daya beli dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Pemerintah Epictoto beralasan bahwa, kenaikan tarif PPN menjadi 12% bertujuan untuk menambah pendapatan negara. Dalam beberapa tahun terakhir, pandemi COVID-19 memberikan tekanan besar terhadap kondisi fiskal, sehingga diperlukan langkah-langkah strategi untuk memperbaiki keuangan negara.

Dengan demikian, PPN menjadi instrumen utama untuk memenuhi kebutuhan pendanaan tersebut. Selain itu, langkah ini juga dianggap dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, sehingga beban pembayaran utang dan risiko ekonomi jangka panjang dapat dikelola dengan lebih baik.

Selain alasan domestik, pemerintah menyesuaikan tarif PPN agar lebih sejalan dengan standar internasional. Saat ini, rata-rata tarif PPN global mencapai sekitar 15%, terutama di negara-negara maju. Dengan kenaikan ini, tarif PPN Indonesia tetap berada pada tingkat yang kompetitif namun terlihat lebih mendekati standar global.

PPN 12 % dan Dampak Terhadap Konsumsi Masyarakat
Alasan pemerintah di atas cukup rasional dan masuk akal, namun bagi masyarakat menengah dan bawah yang memiliki daya beli terbatas, tentunya dengan kenaikan tarif PPN akan sangat berpengaruh.

Pasalnya keenaikan tarif PPN akan mempengaruhi harga barang dan jasa. Produsen dan pengecer kemungkinan besar akan menaikkan harga untuk menyesuaikan dengan beban pajak yang lebih tinggi. Akibatnya, konsumen harus membayar lebih mahal, yang dapat memicu inflasi.

Penurunan daya beli dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Konsumen khususnya masyarakat menengah dan bawah, akan beralih ke produk dengan harga lebih terjangkau atau kualitas lebih rendah untuk mengurangi pengeluaran. Hal ini tidak hanya mempengaruhi sektor ritel tetapi juga berdampak pada permintaan barang-barang premium.

Dengan demikian, penurunan konsumsi rumah tangga yang menyumbang 57% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari perspektif bisnis, kenaikan tarif PPN menimbulkan kekhawatiran terutama bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ayau industri rumah tangga. Pelaku UMKM, yang sebagian besar sudah menghadapi tantangan berat pascapandemi, mengambil kebijakan ini sebagai tambahan beban operasional. Kenaikan ini diperkirakan dapat mengurangi volume penjualan akibat menurunnya daya beli masyarakat.

Selain itu, beberapa sektor bisnis yang sangat bergantung pada barang dan jasa kena PPN, seperti elektronik, otomotif, dan layanan streaming, diperkirakan akan mengalami dampak signifikan.

Dalam skenario terburuk, jika permintaan barang dan jasa terus melemah, perusahaan mungkin terpaksa mengurangi tenaga kerja untuk menekan biaya operasional, sehingga meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK).

Beberapa pemerhati perekonomian menyoroti bahwa kenaikan tarif PPN ini dilakukan pada waktu yang kurang tepat. Pasca pandemi, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Tekanan inflasi dan penindasan ekonomi global juga memperburuk situasi.

Dengan demikian, kebijakan ini dinilai dapat memperlebar kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan kenaikan harga dan kelompok yang justru semakin terpuruk secara ekonomi.

Kebijakan ini juga memunculkan pertanyaan mengenai keadilan pajak. Meskipun beberapa barang dan jasa seperti makanan pokok dan layanan kesehatan buruk dari PPN, beban utama kenaikan tarif ini tetap akan dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang memiliki alokasi anggaran terbatas.

Langkah Mitigasi yang Diperlukan
Agar kenaikan PPN tidak berdampak negatif secara signifikan, pemerintah perlu mengambil langkah mitigasi yang efektif. Salah satunya adalah memperluas program bantuan sosial untuk mendukung kelompok masyarakat miskin yang berpendapatan rendah, insentif pajak atau kebijakan keringanan bagi UMKM yang rentan terhadap kenaikan tarif pajak ini.

Selain itu pemerintah dapat memperkuat peran koperasi, baik dalam bentuk koperasi produksi maupun koperasi konsumsi, untuk mendukung ketahanan ekonomi kelompok rentan dan bisnis UMKM.

Koperasi produksi dapat menjadi solusi menjadi strategi bagi petani dan pelaku UMKM dalam menghadapi kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan tarif PPN. Melalui koperasi ini, para petani dapat bekerja sama untuk menghasilkan hasil pertanian secara kolektif, sehingga mampu menekan biaya produksi. Selain itu, koperasi produksi juga dapat membantu petani memperoleh akses terhadap teknologi dan bahan baku yang lebih terjangkau.

Bagi UMKM, koperasi produksi dapat difungsikan sebagai wadah untuk berbagi sumber daya, seperti mesin produksi atau fasilitas pengemasan. Dengan demikian, pelaku usaha kecil dapat memproduksi barang dengan biaya lebih rendah, sehingga mampu mempertahankan harga jual produk mereka. Koperasi produksi juga memungkinkan petani dan UMKM untuk meningkatkan daya tawar mereka di pasar, sehingga mereka tidak sepenuhnya bergantung pada harga pasar yang sering kali tidak stabi

Masyarakat miskin yang cenderung paling rentan terhadap dampak kenaikan harga akibat kenaikan PPN, koperasi konsumsi dapat memastikan menjadi mekanisme mitigasi untuk kebutuhan dasar masyarakat tetap terpenuhi dengan harga yang terjangkau.

Dalam koperasi ini, anggota dapat membeli barang kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, dan gula, dengan harga lebih murah karena koperasi mengelola pembelian barang secara kolektif langsung dari produsen.  Masyarakat miskin juga dapat memperoleh akses terhadap layanan kredit mikro dengan bunga rendah. Hal ini penting untuk membantu memenuhi kebutuhan mendesak mereka tanpa harus terjerat oleh pinjaman dari rentenir.

Dengan demikian, dukungan dan kebijakan pemerintah adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan kenaikan PPN 12 % tidak berdampak buruk bagi 25,22 juta orang (9,03 persen) masyarakat miskin dan 83,3 juta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.