December 22, 2024

Mengenang Peristiwa Pemberontakan PKI tahun 1926 di Banten

Pasar Lama kota Serang

Pasar Lama kota Serang

Pendahuluan

Serang — 12-15 November 1926 menjadi hari yang sangat bersejarah bagi masyarakat Banten khususnya bagi masyarakat di wilayah Menes, Pandeglang, dan Serang.  Dikarenakan pada hari itu terjadi sebuah pemberontakan besar yang dilakukan oleh para petani dan masyarakat menengah ke bawah yang dipimpin oleh partisipan PKI dan bersama ulama-ulama Banten  dalam melawan pemerintah kolonial.

Peristiwa ini juga menjadi peristiwa pemberontakan pertama yang dilakukan oleh PKI yang pada masa-masa berikutnya disusul dengan pemberontakan-pemberontakan PKI lainnya. Meskipun sebenarnya berbagai pemberontakan yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa di Banten hanyalah peristiwa yang terjadi di Sumatera di tahun yang sama dengan latar belakang yang hampir sama yakni perpecahan. Sedangkan pemberontakan-pemberontakan lain setelahnya seperti di Banten tahun 1945, Madiun 1948, Jakarta 1965 tidak memiliki keterkaitan karena memiliki latar belakangnya masing-masing.

Dan tak hanya itu, pemberontakan ini merupakan pemberontakan pertama kaum perintis kemerdekaan Indonesia. Sehingga bisa dikatakan pemberontakan ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap sejarah bangsa Indonesia ke depannya.

Dari segi persiapan dan perencanaan terbilang belum matang. Hal tersebut disebabkan kurangnya persetujuan dan mediasi terhadap petinggi PKI dikarenakan sejak 1919 banyak sekali petingginya yang sedanng diasingkan ataupun dalam pelarian ke luar Hindia Belanda. seperti Semaun dan Muso yang bersembunyi di Singapura, semaun dan Darsono yang diasingkan ke Belanda, dan Tan Malaka mengasingkan diri ke Cina. Di tengah situasi tersebut para pengurus besar PKI mengadakan kongres pada 11-17 Desember 1924 dan hasil kongresnya ialah seruan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Dan Tan Malaka tidak menyetujui hasil kongres tersebut bahkan memerintahkan agar keputusan tersebut dicabut karena dinilai dari segi organisasi maupun rencana dirasa belum matang (Nami Irawan Batubara, 2021: 9-10)

Hal tersebut juga sebagaimana disebut Mufti Ali dalam bukunya “Revolusi Banten 1926 & Neraka Penjara Boven Digoel”: “Para eksekutif PKI sudah memutuskan dalam rapat mereka di Bandung pada bulan Juni untuk melakukan perlawanan bersenjata, namun pimpinan pusat PKI masih ragu. Mereka masih menghadapi kesulitan dalam mengontrol gejolak-gejolak lokal, yang sebagian, seperti di Tegal, memilih melakukan revolusi secepatnya.” (Mufti Ali & Mehrunnisa, 2020: 15).

Kendati demikian, aksi ini tetap memiliki pengaruh terhadap gerakan-gerakan revolusioner ke depannya yang membawa Indoneia ke arah kemerdekaan.

Latar Belakang Pemberontakan

Awal mula kemunculan PKI CVTOGEL ini tak bisa lepas dari pengaruh Oesadiningrat, seorang karyawan Stasiun Kereta Api Tanah Abang yang dipecat oleh otoritas kolonial yang kemudian aktif di Sarekat Buruh Kereta Api sebagai pengurus harian penuh .yang sebelumnya ia sering mengadakan perkumpulan bersama para petinggi PKI seperti Alimin dan Muso pada tahun 1924 di Pandeglang sebagai bentuk reaksi dari perpecahan dan konflik yang terjadi di dalam tubuh SI (Sarekat Islam). Yang mana perkumpulan tersebut menjadi langkah awal berdirinya cabang PKI di Banten (Aliyah Hidayati, 2016: 81).

hingga akhirnya berdirilah cabang PKI di Serang-Banten pada 9 oktober 1925. Yang mana pada saat tu diputuskan bahwa Puradisastra diangkat sebagai Ketua, Tb. Alipan sebagai Sekretaris, dan Bendahara Djarkasih. Selain itu juga diangkat tiga orang yang menduduki posisi komisaris partai, yaitu H. Alwan, Arman dan Mohammed Ali (Mamak). Kantor PKI kini berlokasi di Pasar Serang, di sebuah milik seorang Cina, Lee Eng Hock, yang juga anggota PKI (Michael C. Williams, 2003: 34).

Lahirnya PKI cabang Serang menjadi langkah semakin menjadi-jadinya propaganda komunisme dan juga propaganda pembeontakan terhadap kolonial di Banten. Hal tersebut sebagaimana dikutip melalui koran Het Nieuws Van Den Dag voor Nederlandsch-Indie dalam artikel De Gebeurtenissen in Bantam yang diterbitkan pada 8 Februari 1927:

“Dapat dianggap sebagai hal yang umum diketahui bahwa penduduk di Banten cukup fanatik, sementara kepercayaan takhayul di daerah tersebut sangat berkembang. Para pengajar agama Islam memiliki pengaruh yang besar terhadap penduduk desa, sebuah keadaan yang sepenuhnya diyakini oleh para propagandis, sehingga sejak awal tindakan kriminal mereka, tujuan mereka adalah melibatkan para pengajar agama ini dalam gerakan mereka dan memenangkan dukungan untuk rencana mereka. Ini adalah upaya politik yang jelas menunjukkan bahwa kepemimpinan dipegang oleh individu-individu yang memiliki wawasan yang diperlukan dan secara sistematis berusaha mengatasi kesulitan yang mungkin mereka temui di jalur kriminal mereka.

Propaganda nyata pertama kali masuk ke Banten dengan Poeradisastra, yang pada bulan September 1925 mendirikan sebuah cabang P.K.I. di Serang di bawah kepemimpinannya.

Sebelumnya, sudah ada upaya untuk melakukan propaganda di selatan Banten. Seorang Raden OesadiDingrat, seorang keponakan bupati Batavia, telah menyebarkan prinsip-prinsip P.K.I. di sana pada pertengahan tahun 1924 setelah sebuah pertemuan propaganda dengan Alimin dan Moeso, tetapi ia tidak mendapatkan banyak keberhasilan karena rakyat saat itu belum siap. Selain itu, kemudian terbukti bahwa dia sendiri bukanlah seorang komunis yang terdidik dan telah berpindah keyakinan; saat ini dia bekerja di pemerintahan.!” (HET NIEWS VAN DEN DAAG, 1927).

Perlawanan yang terjadi pada tahun 1926 di Labuan, Menes dan Petir tidak terlepas dari kondisi ekonomi yang dialami oleh masyarakat Banten, di samping itu ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan kolonial Belanda dalam masalah perpajakan yang sangat tinggi sehingga membuat masyarakat mengalami kesusahan dan mengalami penderitaan karena tidak mampu membayar pajak yang begitu tinggi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda (Aris Muzhiat, 2021: 79).

Faktor lain yang mendorong pemberontakan ini juga ialah kegagalan aksi mogok kerja yang dilakukan oleh para kelas pekerja di kota yang di antaranya ialah pegawai pegadaian dan pegawai kereta api. Dan faktor lainnya pada tahun 1926, dipicu oleh penangkapan H. Achmad Chatib, salah satu tokoh penting PKI seksi Banten, pada 23 Oktober 1926.

Rencana mengenai pemberontakan ini dimulai sejak 1925 yang mana pada saat itu diskusi-diskusi sering diadakan di bengkel sepeda milik salah seorang partisipan PKI yang bernama Djarkasih yang berlokasi di Pasar Lama. Diceritakan oleh Michael C. Williams dalam bukunya “Sickle and Crescent: the Comunist Revolt of 1926 in Banten” di dalamya, para eksekutif PKI Serang sering mendiskusikan tentang bagaimana agar bisa mendapat simpati dari masyarakat lokal.

Terkait hal tersebut menjadi suatu tantangan awal bagi berdirinya PKI di Banten dikarenakan masyarakat Banten sangatlah ortodoks dalam beragama serta hanya menerima dari masyarakat lokal Banten. Sehingga mau tidak mau Puradisastra harus menggerakkan PKI agar bisa menyesuaikan dengan keadaan sosial di Banten saat itu.

Sehingga untuk menyelesaikan tantangan awal tersebut para petinggi PKI di Banten turut mengajak para ulama lokal di Banten untuk bergabung ke PKI. Dan hal tersebut pun disambut dengan baik oleh para ulama di Banten yang mau bergabung menjadi partisipan PKI. Di antara caranya ialah dengan Puradisastra mengajak Basaif yang merupakan tokoh agama keturunan Arab yang lahir di Bantenyang memiliki gerakan dengan pandangan serupa seperti PKI, dengan alasan inilah Puradisastra merekrutnya agar dapat membantu memperluas jaringan PKI di Banten. (Mihael C. Williams, 2003: 17). Selain itu bergabungnya Tb. Achmad Chatib dan Tb. Emed di PKI membuat banyak ulama lain mengikuti langkah mereka dan tentu saja bersama-sama para pengikutnya masing-masing (Michael C. Williams, 2003: 51).

Bahkan Achmad Chatib ditahtakan sebagai pemimpin golongan ulama dengan gelar “Presiden Agama PKI seksi Banten”(Mardiyah, 2017: 57). Sekaligus dia juga menjadi salah satu tokoh penting dalam aksi pemberontakan pada tahun 1926 yang mana dia merupakan pemimpin dari aksi pemberontakan tersebut. Dia sepenuhnya bertanggung jawab terhadap jalannya aktivitas PKI karena pemerintah kolonial telah melakukan banyak penangkapan terhadap para pemimpin PKI di Banten, seperti Tubagus Hilman dan Ali Mamak, yang telah terlebih dahulu ditahan karena aktivitas politiknya.

Serta salah satu strategi ajakan atau negosiasi paling berpengaruh dari PKI ini ialah janji-janji yang diberikan PKI seperti masyarakat yang akan terbebaskan dari beban hoofgeld (pajak perorangan) yang mana itu membuat para petani sangat tertarik serta ramalan PKI mengenai akhir masa pemerintahan kafir kolonial yang sangat menarik perhatian golongan ulama (Michael C. Williams, 2003: 41&48). Selain itu juga seruan melindungi agama yang dilayangkan PKI saat itu turut membakar semangat masyarakat untuk berpartisipasi dalam PKI, dalam sebuah pertemuan Achmad Chatib pernah mengungkapkan “Bila melindungi agama adalah salah satu tujuan PKI maka saya pun sepakat. Tapi bila berhubungan dengan hal-hal duniawi saya kurang memahami.” Pernyataan dari seorang ulama seperti Achmad Chatib tadi tentu semakin menambah semangat pengikutnya juga untuk turut berpartisipasi dalam PKI (Mardiyah, 55:2017).

Meski sebenarnya alasan bergabungnya para ulama lokal Banten beberapa di antaranya ialah dikarenakan permasalahan internalnya sendiri. Yang mana bergabungnya ulama lokal di Banten dalam PKI tak terlepas dari konflik internal SI (Sarekat Islam). Tak hanya di tingkat kepengurusan pusat SI, tetapi juga di tingkat lokal Banten. Ketua SI Banten dipegang oleh Hasan Djajadiningrat, saudara lelaki ahli sejarah Banten, Husein Djajadiningrat .

Di bawah kepemimpinannya, SI menjadi organisasi moderat yang tak memberikan tempat bagi ulama dan jawara Banten. SI di tangan Hasan, menurut Williams, telah gagal menjadi sandaran pengharapan bagi orang-orang Banten yang menghendaki perubahan dalam kehidupan mereka. Karena alasan itulah para ulama lokal Banten memutuskan keluar dari SI dan memilih bergabung dengan PKI.

Di dalam aksi pemberontakan ini terhimpun berbagai kekuatan massa dari berbagai elemen. Pemberontakan ini melibatkan kerjasama antara ulama, kaum komunis, dan jawara. Masing-masing kelompok ini memiliki ketidakpuasan terhadap kekuasaan kolonial, meskipun mereka memiliki kepentingan yang berbeda.

Persiapan pemberontakan

Setelah penangkapan Chatib, Tb. Emed dan H. Saleh mengambil alih persiapan pemberontakan. H. Saleh, yang memiliki dedikasi tinggi dan garis keturunan pejuang revolusioner, memperkirakan rencana revolusioner untuk mengambil alih Labuan, Pandeglang, dan Serang secara bertahap. Ia bahkan mengirim massa ke Rangkasbitung menggunakan kereta api untuk mengatasi kelumpuhan PKI di area tersebut.

Hari H Pemberontakan di Labuan

– 12 November: Pada pagi hari tanggal 12 November 1926, pasar di Labuan tampak ramai. Tercatat bahwa penjualan garam dan pakaian putih meningkat selama beberapa hari. Selain itu, banyak warga daerah tersebut telah melakukan puasa selama beberapa hari. Pada malam harinya, ratusan orang yang dipimpin oleh K.H. Muqri dan K.H. Ilyas berkumpul di sebuah desa di Bama. Senjata disebarluaskan kepada massa. Pertemuan ini ditutup dengan melaksanakan salat perang, sebuah do’a khusus untuk perang. Tertangkapnya pejabat tinggi partai tampaknya tidak mengurangi niat mereka untuk melakukan pemberontakan. Situasi serupa juga dialami oleh K.H. Moestapha yang mengumpulkan 700 orang di desa Pasar Lama, dekat Caringin. Di Menes, Haji Hasan dan Entol Enoh pimpin pasukan pemberontak. Setelah semua grup siap, para insurgen menyerang kota pada tengah malam. Target mereka adalah rumah-rumah pejabat pemerintah di Labuan dan Menes. Tanggal 13 November 1926, pasukan militer berhasil melawan balik pasukan pimpin K.H. Muqri. Tanggal 15 November 1926, pasukan pimpin K.H. Muqri melakukan serbuan balik terhadap pasukan dukungan dari Batavia (Helmy Faizi Bahrul Ulumi, 2018: 19-20).

– Kelompok-Kelompok Terpisah: Setelah menangkap Mas Wiriadikoesoemah, massa terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengawasi pemindahan Mas Wiriadikoesoemah ke Caringin, sementara yang lainnya mencari polisi di jalanan Labuan. Kelompok kedua kemudian menuju ke rumah H. Ramal dimana tiga petugas dari Veldpolitie ditempatkan. Baku tembak sengit pun terjadi, mengakibatkan dua kematian dan satu luka parah di antara petugas (Mardiyah, 2017: 63).

Menes

– Target Utama: Pemberontak di Menes dipimpin oleh H. Hasan dan Entol Enoh. Mereka menyerang rumah wedana, Raden Partadinata, seorang pengawas kereta api, Benjamins, dan polisi. Serangan dimulai pada jam satu malam dengan mengerahkan sekitar 300 sampai 400 pemberontak. Dalam penyerangan wedana itu, seorang polisi pengawal berhasil menembak seorang pemberontak hingga tewas. Kelompok lainnya meringkus kediaman Benjamins dan berhasil menguasai stasiun kereta api. Benjamins, satu-satunya orang Belanda di kota itu, berusaha lepas dan mengatakan bahwa ia akan masuk Islam, namun pemberontak memutuskan untuk menghabisi nyawanya. Dua orang polisi juga tewas dan asisten wedana terluka parah oleh pemberontak. Kediaman pensiunan Patih juga tidak luput dari sasaran para pemberontak pada malam itu. Dan insiden pembunuhan Benjamins menjadi insiden yang paling parah dan paling disoroti oleh pemerintah kolonial.

Petir (Wilayah Serang)

– Insiden Paling Serius: Meskipun para tokoh PKI berada di penjara, insiden paling serius terjadi di Petir pada malam 13 November. Tokoh-tokoh PKI lokal di wilayah ini, seperti Kyai Emed, H. Soeb, H. Artasik, dan H. Sasatra, sangat kuat dan hampir tidak dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan. Pemberontakan di Petir dengan target Asisten Wedana Petir mengalami kegagalan karena militer Belanda telah disiagakan.
Tanggap darurat otoritas kolonial

Pemberontak gagal memutus semua kabel telepon di Labuan dan Menes. Akibatnya, Bupati Pandeglang mengetahui rencana itu pada jam satu dini hari. Setelah mendengar informasi tersebut, pemberontak baru memutus kabel-kabel telepon tersebut. Keterlambatan ini membuat pihak Batavia menyiagakan kekuatan militernya dan menjelang pukul 4 dini hari, 100 personil di bawah pimpinan Kapten Becking berangkat menuju Banten.

Pagi harinya pada tanggal 13 November, Bupati Kartadiningrat bersama dengan komandan Veldpolitie, Martens, dan sembilan orang polisi bergerak menuju Menes dan Labuan. Di tengah perjalanan, rombongan ini terlibat bentrokan dengan para pemberontak, tetapi berhasil memukul mundur mereka. Setibanya di Menes, bupati mendapati kediaman wedana dilalap api, dan wedana beserta tiga orang polisi tewas di tempat itu. Malam harinya, personil yang berada di bawah komando Kapten Becking tiba di Labuan dan melakukan operasi pertama di Caringin untuk mencari keberadaan Asisten Wedana Labuan yang telah ditawan oleh pemberontak. Pasukan ini di bawah pimpinan Letnan Van Der Vinne berhasil menemukan Asisten Wedana yang hanya dijaga oleh satu orang saja tidak melakukan perlawanan. Sesampainya di rumah Tb. Emed, mereka disambut dengan tembakan dari arah warung yang ada di sana. Kejadian ini membuat tujuh orang pemberontak tewas tertembak. Pasukan patroli ini terpaksa harus kembali ke Labuan tanpa menangkap Tb. Emed, karena Tb. Emed berhasil meloloskan diri sebelum insiden di Caringin terjadi.

Dampak dan Setelahnya

Apa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan media pers terhadap aksi pemberontakan sangatlah memojokan para partisipan PKI. Dampak dari pemberontakan ini 99 orang dibuang ke Boven Digul, Irian Barat dan ratusan lainnya dipenjarakan untuk massa yang lama dan bahkan empat tokoh pemberontak dihukum mati di antaranya yaitu Jas’a, Jamin, Doelsalam, H. Asikin (Michael C. Williams, 2003: 147-164). Serta dampak lainnya dari segi politik pemberontakan PKI dianggap membahayakan oleh pemerintah kolonial, sehingga mengakibatkan penindasan terhadap semua gerakan nasionalis. Pemerintah melakukan tindakan represif terhadap tokoh-tokoh nasionalis lainnya, yang berdampak pada melemahnya gerakan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan (Pusjarah TNI, 2009: 37)

Serta pemerintah kolonial berusaha menyoroti isu bahwa tindakan perlawanan PKI merupakan sebuah pemberontakan yang dilakukan sekolompok pecundang yang hanya ingin berbuat kekacauan dan aksinya tidak dilandasi dengan alasan yang konkrit.

Sebagaimana diberitakan dalam Haagsche Courant terbitan 20 November 1926 dalam artikel yang berjudul Geen economische oorzaken voorden communistischen opstand in West-Bantam – Hoe de regeering haar taak volbracht. Yang di dalamnya memuat berbagai informasi mengenai upaya pemerintah dalam mensejahterakan petani dan nelayan Banten salah satunya melalui perluasan wilayah sawah dan irigasi. Padahal aksi pemberontakan PKI merupakan bentuk perlawanan atas berbagai peninasan yang dialami masyarakat Banten oleh pemerintah kolonial (Haagche Courant, 1926).

Kesimpulan

Pemberontakan PKI di Banten pada 12-15 November 1926 merupakan momen penting dalam sejarah Indonesia, menandai aksi perlawanan pertama oleh kaum komunis terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dipimpin oleh petani dan ulama lokal, pemberontakan ini muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan perpajakan yang memberatkan dan kondisi ekonomi yang sulit. Meskipun persiapan yang dilakukan oleh PKI terbilang kurang matang, aksi ini berhasil menarik perhatian berbagai elemen masyarakat, termasuk ulama, untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan kolonialisme. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan sosial dan ekonomi dapat memicu gerakan kolektif yang signifikan.

Namun, meskipun pemberontakan ini mendapatkan dukungan luas, tindakan represif dari pemerintah kolonial mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tujuan mereka. Pemberontakan di Banten tidak hanya memicu penangkapan para pemimpin PKI, tetapi juga menghasilkan stigma negatif terhadap gerakan tersebut di mata publik. Akibatnya, banyak partisipan yang dibuang ke tempat-tempat pengasingan seperti Boven Digul. Meskipun gagal, pemberontakan ini tetap menjadi tonggak awal bagi gerakan revolusioner di Indonesia dan memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya persatuan dan perencanaan yang matang dalam perjuangan melawan penindasan.

Pada akhirnya Aksi pemberontakan ini dapat dikatakan gagal dikarenakan beberapa aspek seperti aspek kurang baiknya kordinasi antara pengurus besar PKI, partisipan PKI, petinggi-petinggi PKI yang sedang terasingkan. Serta karena aspek taktik dan strategi yang kurang mapan dalam aksi pemberontakannya.

Pemberontakan PKI di Banten pada tahun 1926 tidak hanya merupakan sebuah episode dalam sejarah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang terhadap perkembangan politik dan sosial di Indonesia. Meskipun gagal, peristiwa ini memperkuat kesadaran kolektif akan perlunya perjuangan melawan penindasan dan membentuk narasi perjuangan nasional yang lebih kompleks di Indonesia.

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.