Kisah Sedih di Balik Kontrak Kerja
4 min readSelain cerita-cerita tentang makhluk gaib, metode penilaian orang yang berposisi sebagai supervisor (oknum) dan manajer (oknum) dalam dunia kerja juga merupakan sesuatu yang acap kali misterius. Pembelaan semisal “penilaian karyawan harus sesuai dengan prestasinya” adalah klise.
Prinsip “suka atau tidak suka” kerap mendominasi keputusan saat golongan oknum supervisor dan oknum manajer memberi skor kepada karyawan yang berada dalam “kuasa”-nya.
Saya pikir tidak di semua tempat seperti itu, namun setidaknya hal itu terjadi secara empiris kepada seorang rekan saya yang bernama Toin (nama samaran). Ia menceritakan banyak hal mengenai kisah di balik kontrak kerjanya yang tak diperpanjang oleh orang yang lebih berkuasa. Beberapa waktu lalu kami bertemu di sebuah warung kopi.
Toin adalah seorang pria yang berasal dari sebuah kabupaten di Kalimantan Barat. Kala itu saya dan dia bekerja di perusahaan yang sama di Kota Pontianak, bergerak pada bidang penyedia jasa akomodasi.
Ketimbang saya, Toin sebenarnya lebih cocok bekerja pada industri ini yang memerlukan pekerja dengan penampilan cetar membahana. Kulitnya putih bersih, hidung mancung, dan rapi. Ia memiliki semua kualifikasi yang dibutuhkan.
Sementara saya, barangkali, lebih mirip gelandangan yang disuruh pakai baju kemeja, celana kain, dan sepatu pantofel.
Kinerja dia selama ini juga tidak ada masalah, karena saya tahu persis apa yang dikerjakannya. Jika dipikir baik-baik, seandainya manajemen perusahaan ingin memecat atau tidak memperpanjang kontrak antara Toin dan saya maka seharusnya sayalah yang akan knocked out.
Kenyataan berbeda. Intinya dia dianggap kurang menjilat kepada oknum petinggi perusahaan, sehingga muncul anggapan Toin tidak termasuk karyawan yang loyal terhadap perusahaan.
Menurut Toin, dia sebenarnya sudah menandatangani kontrak kerja baru (belum ditandatangani kedua pihak), tetapi dengan alasan yang membingungkan akhirnya tidak terwujud apa yang seharusnya.
Perwakilan dari departemen personalia mengatakan bahwa Toin tidak dilanjutkan kontrak kerjanya karena kondisi Covid-19 yang membuat perusahaan harus melakukan efisiensi.
Awalnya ia maklum sampai akhirnya diketahui bahwa pada saat yang sama, pihak perusahaan menerima karyawan baru dengan upah yang lebih tinggi darinya. Menurut Toin itu konyol. Saya pun berpikir begitu.
“Kalau saya diberhentikan karena tidak cocok lagi dengan visi perusahaan, atau tidak lagi bisa bekerja sama. Sebenarnya mereka bisa sampaikan saja secara langsung, Bang. Tak perlu pakai drama dan alasan ini-itu,” ujar Toin kepada saya.
Ucapan Toin membuat saya kembali tersadar bahwa banyak orang belajar tentang manajemen sumber daya manusia, tapi tak ada yang benar-benar mengajarkan mereka bagaimana menjadi seorang gentleman.
Apakah saya termasuk yang menjilat sehingga bisa bertahan? Tidak juga, 6 bulan setelah Toin tidak lagi di perusahaan (tahun 2019), saya terpaksa harus resign karena fitnah keji yang dilancarkan oleh oknum di sana. Tapi kali ini saya tak akan bicara soal itu, sudah pernah saya tulis pada artikel sebelumnya di Kompasiana.
Jadi pada dasarnya tidak ada ukuran atau indikator tertentu yang sesuai dengan teori atau sesuatu yang ilmiah. Murni urusan “suka” atau “tidak suka”. Sayang sekali jika ilmu pengetahuan tidak digunakan oleh oknum pemegang kuasa. Memuaskan egoisme yang mempertaruhkan rezeki orang lain itu sangat memalukan.
Menurut Toin, setelah kejadian tersebut ia mengalami banyak kesulitan finansial. Belum lagi pada saat itu istrinya akan melahirkan, cicilan rumah, dan biaya hidup lainnya.
Kalau saya simak dari ceritanya, hanya sedikit orang yang sudi membantu ketika ia benar-benar kesulitan. Kisahnya tak jauh beda ketika saya sedang menganggur dulu. Mentang-mentang kita tak punya uang, sebagian orang pun menjauh.
Nah … itulah hidup. Kalau kata Thanos (dalam Avenger: Infinity War): “Reality is often dissapointing.”
Sembari mencari pekerjaan lain, ketika itu, Toin bekerja apa pun yang menghasilkan uang seperti berjualan jengkol di pasar, mengecat bangunan rumah, cuci AC, dan sejenisnya.
“Pokoknya bisa menghasilkan uang halal, Bang,” kata Toin.
Kata-kata seperti itu memang biasanya hanya keluar dari seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab. Sekarang ia sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sebagai penanggung jawab keuangan di suatu perusahaan.
Ia pantas berbangga hati atas segala kejadian yang telah dilaluinya setelah diperlakukan secara tak adil di masa lalu. Saya sangat senang dengan keadaannya yang sekarang.
Saya bukan orang yang berkecimpung di dunia HRD atau pengelolaan sumber daya manusia. Namun jika boleh saya berpesan kepada para manajer dan supervisor atas dasar kemanusiaan, agar bisa menghilangkan prinsip “suka” dan “tidak suka” dalam indikator penilaian kalian.
Dalam buku “Manajemen Kinerja” yang ditulis oleh Dr. Wehelmina Rumawas, S.Sos, M.Si (Unsrat Press, 2021), pada halaman 69 dijelaskan mengenai kinerja seseorang dipengaruhi 3 faktor, yaitu: kompetensi individu, dukungan organisasi, dan dukungan manajemen.
Kompetensi individu dibagi ke dalam dua hal, yaitu: kemampuan plus keterampilan kerja, dan motivasi plus etos kerja.
Saya yang secara langsung melihat bagaimana Toin bekerja nyaris setiap hari, tak melihat faktor-faktor yang akan menjadi masalah besar kelak, baik dalam hal keterampilan maupun etos kerja. Kalaupun ada, sepertinya hanyalah kesalahan dan alasan yang dicari-cari sampai hari kiamat.
Teori dan ilmu pengetahuan sudah tersedia, tapi saya pribadi meyakini bahwa tidak sedikit oknum pemegang kuasa lebih menggunakan sentimen daripada objektivitas. Gila hormat, sebut saja begitu.
Oleh karena itu, bagi saudara-saudara saya yang muslim tentunya kita wajib berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’alaa, jangan bergantung kepada makhluk (manusia) karena kerap mengecewakan.
Ada baiknya kita mengamalkan doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad salallahu ‘alahi wa sallam berikut ini (diriwayatkan oleh Anas bin Malik): “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat gelisah (pesimis), sedih, malas, kikir, pengecut, terlilit utang, dan keganasan orang lain.”
Semoga para pencari nafkah di Indonesia mendapatkan segala kebaikan. Aaammiin!
—-
Dicky Armando, S.E. – Pontianak