Fenomena Cashless di Indonesia, Kemudahan atau Kebingungan di Tengah Kebijakan Tak Memadai
4 min readSudah sekitar 300 tahun lamanya uang kertas digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Meskipun begitu, kemajuan zaman pada akhirnya telah membuat banyak perubahan dalam cara bertransaksi yang secara spesifik tentang opsi pilihan cara pembayaran yang lebih beragam.
Dulu kita juga memiliki opsi pembayaran non-tunai seperti kartu debit/kredit, tetapi dengan semakin canggihnya teknologi kemudian menghadirkan cara pembayaran non-tunai dengan bentuk yang berbeda. Saat ini kita bahkan dapat melakukan berbagai macam transaksi pembayaran hanya dengan menggunakan smartphone saja.
Mulai dari aplikasi e-wallet hingga digital banking, masyarakat saat ini diberikan berbagai macam pilih opsi yang lebih beragam untuk melakukan pembayaran dalam kegiatan bertransaksi jual-beli.
Melihat fenomena ini Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) pada tahun 2019 lalu mengeluarkan sistem pembayaran berbasis QR code yang diberi nama QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard) untuk menyatukan berbagai jenis pembayaran non-tunai dalam satu standar nasional, sehingga dapat mempermudah transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.
Sistem pembayaran Epictoto ini kemudian memungkinkan berbagai aplikasi pembayaran digital seperti e-wallet, mobile banking, bahkan hingga kartu debit/kredit sekali pun bisa melakukan pembayaran hanya dengan cara memindai satu QR code saja.
Kehadirannya juga merupakan bagian dari Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan visi dari Bank Indonesia dalam meningkatkan inklusi keuangan, serta dapat memfasilitasi masyarakat dalam melakukan transaksi “cashless”. Selain itu harapannya QRIS ini bisa menjadi pilar penting dalam mendukung ekonomi digital Indonesia.
Pasca covid-19, masyarakaT seolah “dipaksa” untuk mengubah berbagai macam hal dalam aspek kehidupannya termasuk juga cara bertransaksi.
Nilai transaksi uang elektronik di Indonesia dapat dikatakan terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada 5 tahun terakhir (saat-pasca Covid-19). Sehingga hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita sudah terbiasa dengan cara bertransaksi dengan menggunakan uang elektronik.
Bank Indonesia juga menambahkan bahwa pada juni 2024 lalu, transaksi QRIS telah tumbuh sebesar 226,54 persen (%) secara year on year (yoy), dengan jumlah pengguna mencapai 50,50 juta dan 32,71 juta jumlah merchant.
Transaksi uang elektronik ini juga dapat dikatakan cukup mengambil peran penting dalam kegiatan transaksi ekonomi dan keuangan digital di Indonesia.
Namun dibalik itu semua, masyarakat masih dihadapkan dengan kebingungan dalam hal regulasi kebijakan yang belum memadai. Dalam hal ini adalah menyamakan persepsi kepada masyarakat baik itu sebagai konsumen maupun pelaku usaha dalam transaksi menggunakan pembayaran non-tunai/digital seperti QRIS tersebut.
Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) seolah tidak memberikan pengawasan lebih lanjut terkait aktivitas transaksi pembayaran non-tunai/digital di lapangan.
Masih banyak pelaku usaha yang belum selaras menyediakan opsi pembayaran non-tunai dengan QRIS hingga banyak dari mereka yang masih memiliki persepsi keliru terhadap pembayaran QRIS yang dianggap dapat merugikan bisnisnya.
Dalam beberapa kasus, justru terdapat pelaku usaha hanya menyediakan opsi pembayaran non-tunai saja dan tidak menghendaki konsumen untuk membayar dengan menggunakan cash.
Hal ini tentu menciptakan kebingungan di dalam masyarakat, karena kehadiran opsi pembayaran seperti QRIS bisa dikatakan masih menjadi alternatif pembayaran dan bukan menggeser uang tunai sebagai alat pembayaran yang sah.
Bhaskar dkk dalam artikel Harvard Business Review yang berjudul “The Countries That Would Profit Most from a Cashless World” membahas tentang fenomena bagaimana transisi masyarakat tanpa uang tunai bisa menguntungkan negara tertentu.
Meskipun masyarakat maupun negara dapat diuntungkan, tetapi terdapat tantangan dan resiko bagi masyrakat secara umum. Uang tunai sering kali berperan sebagai ‘jaring pengaman’ khususnya ketika dalam kondisi krisis ekonomi atau bencana alam.
Dan apabila negara bergantung sepenuhnya pada infrastruktur pembayaran digital, maka dapat meningkatkan biaya layanan di masa depan dan berdampak negatif pada sektor ekonomi informal, yang saat ini memberi banyak orang penghasilan tanpa melalui jalur yang ‘resmi’.
Sehingga meskipun bagi beberapa negara yang memberlakukan kebijakan transaksi tanpa uang tunai memperoleh berbagai manfaat, tetapi kebijakan seperti ini perlu dipertimbangkan secara hati-hati agar tidak merugikan masyarakat secara keseluruhan, terutama dalam situasi dan kondisi darurat atau di sektor ekonomi informal.
Boston Cosulting Group dalam analisisnya yang berjudul “How Cashless Payments Help Economies Grow” lebih lanjut menjelaskan bahwa untuk memastikan transaksi pembayaran non-tunai ini bisa bermanfaat dalam membantu pertumbuhan ekonomi negara, maka pemangku kepentingan dan pembuat regulasi dari negara tersebut perlu memperhatikan beberapa hal penting.
Dalam menghadapi perkembangan gaya hidup digital dan semakin banyaknya masyarakat yang terhubung dengan sistem pembayaran non-tunai/digital, maka penting bagi para pembuat kebijakan maupun perusahaan tidak boleh menyepelekan berbagai tantangan dan resiko yang ada.
Solusinya adalah dengan pendekatan menyeluruh, di mana hal ini terdiri dari infrastruktyur yang tepat, kerangka regulasi hukum yang jelas, teknologi, hingga kesiapan untuk bermitra dan berkolaborasi dengan pihak lain seperti sektor swasta.
Tantangannya memang rumit, tetapi jika dilakukan dengan memperhatikan berbagai macam solusi tersebut maka pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat mungkin dapat terjadi di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, melihat fenomena dan potensi transaksi pembayaran non-tunai/digital yang terjadi di Indonesia, semakin kita menyadari bahwa pemangku kebijakan belum sepenuhnya mencpitakan regulasi kebiajakan yang memadai. Kebingungan diantara masyarakat baik itu sebagai konsumen maupun pelaku usaha merupakan contoh nyata dari itu semua.
Mungkin apabila pemangku kebijakan bisa menciptakan regulasi kebijakan yang memadai dengan pengawasan yang ketat dan berkelanjutan, tidak dapat dipungkiri bahwa nantinya aktivitas pembayaran non-tunai/digital ini bukan hanya memberikan manfaat dan kemudahan bagi masyarakat saja tetapi juga dapat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi negara.