Tantangan Menjegal Sabu dan Indikator Kesejahteraan Pekerja
3 min readPenangkapan kurir hingga pengedar sabu belakangan ini semakin sering diberitakan. Barang bukti yang disita pun tidak lagi dalam hitungan gram, melainkan kilogram. Program pemberantasan narkoba yang digaungkan pemerintah, seperti Asta Cita, diklaim sebagai latar belakang maraknya operasi semacam ini. Namun, di balik penangkapan demi penangkapan: mengapa rantai peredaran sabu seakan tak pernah putus?
Ambil contoh kasus di Kalimantan Timur, tempat kurir bernama Asbun tertangkap membawa 5 kilogram sabu, disusul pengedar bernama Bahlul dengan 8 kilogram sabu. Keduanya tertangkap di Samarinda dengan barang haram yang dipasok dari Tawau, Malaysia, menggunakan modus yang sama: mengemas sabu dalam bungkus minuman berlabel Malaysia.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Tawau sudah lama menjadi titik utama suplai sabu ke Indonesia. Meski beberapa pelaku ditangkap, seperti Asbun dan Bahlul, rantai peredaran tetap berjalan. Dugaan bahwa mereka bekerja untuk “bos” yang sama sering kali mencuat, namun selalu dibantah oleh aparat.
Jika bukan satu bos, maka dapat diasumsikan produsen sabu di Tawau begitu banyak, sementara pemberitaan penangkapan mereka jarang terdengar. Apakah para produsen ini tidak tersentuh hukum? Ataukah pemberantasan hanya fokus pada pengedar kecil seperti Asbun dan Bahlul?
Dalam kasus Bahlul, diketahui ia diupah Rp 20 juta untuk setiap kilogram sabu yang berhasil dijual. Dengan total penjualan 7 kilogram, ia sudah meraup Rp 140 juta. Jumlah ini jauh melampaui standar UMR di sebagian besar daerah di Indonesia. Bagi orang seperti Bahlul, yang mungkin tidak memiliki pekerjaan tetap, angka tersebut sangat menggiurkan.
Fenomena Epictoto ini menunjukkan bahwa akar masalahnya tidak hanya pada permintaan pasar, tetapi juga pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Banyak kurir dan pengedar adalah pengangguran atau pekerja serabutan yang terdesak kebutuhan ekonomi. Mereka melihat pekerjaan sebagai kurir sabu bukan sekadar kejahatan, tetapi peluang cepat untuk keluar dari kemiskinan.
Di sisi lain, pengguna sabu sebagian besar adalah pekerja lapangan yang membutuhkan “suplemen” untuk meningkatkan stamina. Permintaan ini menciptakan rantai pasokan yang terus berjalan, di mana pemasok meningkatkan jumlah barang demi memenuhi kebutuhan pasar. Pola ini sangat sejalan dengan prinsip dasar ekonomi: selama ada permintaan, akan selalu ada penawaran.
Dalam ilmu ekonomi, permintaan dan penawaran adalah konsep dasar yang menggambarkan interaksi antara pembeli dan penjual di pasar. Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang ingin dibeli, sedangkan penawaran adalah jumlah barang atau jasa yang ditawarkan.
Hukum permintaan dan penawaran menjelaskan hubungan antara permintaan dan penawaran, dan bagaimana hubungan tersebut memengaruhi harga barang dan jasa. Hukum ini menyatakan bahwa permintaan akan menurun saat harga naik, dan meningkat saat harga turun; penawaran akan meningkat saat harga naik, dan menurun saat harga turun.
Penangkapan pengedar seperti Asbun dan Bahlul tidak serta-merta menghentikan rantai ini. Pemasok besar di luar negeri tetap akan mencari cara baru untuk menyelundupkan barang, mengubah modus, dan merekrut orang-orang baru sebagai kurir.
Jika ditelaah lebih jauh, fenomena ini mencerminkan masalah mendasar dalam masyarakat kita: minimnya lapangan kerja dan rendahnya tingkat kesejahteraan. Banyak pemuda seperti Asbun dan Bahlul yang terjebak dalam kemiskinan struktural, sehingga mereka melihat pekerjaan ilegal ini sebagai satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, pengguna sabu juga tidak lepas dari beban sosial-ekonomi. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja kasar yang harus menghadapi tuntutan fisik tinggi, sementara pendapatan mereka tetap rendah. Mereka rela mengambil jam lembur demi mendulang upah yang berlipat. Dalam kondisi ini, sabu dianggap sebagai “solusi instan” untuk bertahan.
Maraknya peredaran sabu tidak semata-mata soal hukum atau kriminalitas. Ia adalah gejala dari masalah yang lebih besar: ketimpangan sosial, kurangnya lapangan pekerjaan, dan rendahnya kesejahteraan masyarakat. Selama akar permasalahan ini tidak diselesaikan, peredaran sabu akan terus berputar, seperti lingkaran setan yang digerakkan oleh mereka yang terdesak oleh kebutuhan hidup. Memerangi peredaran sabu bukan hanya soal menangkap kurir atau pengedar, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, di mana tidak ada lagi orang yang rela menjual dirinya untuk barang haram.